”Be careful what you would like for”, the well-known saying all of us blurt out in our everyday conversations. Dalam suatu penegakan hukum disuatu Negara maka seluruh aspek kehidupan harus dapat merasakannya dan diharapkan semua aspek tersebut mentaati hukum, maka akan terjadilah pemerintahan dan kehidupan Negara yang harmonis, selaras dengan keadaan dan sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu kemakmuran Bangsa.
Ketika saya hendak mulai menulis makalah ini, salah satu following saya di jejaring sosial twitter menulis demikian, sejarah negara-negara di dunia membuktikan bahwa penegakan hukum yang tegas, keras dan adil adalah syarat utama dan fondasi bagi kemajuan ekonomi.” Bagi saya, apa yang dikatakannya di twitter itu punya keterkaitan dengan bahan yang akan menjadi rujukan utama saya dalam tulisan ini yakni bab X yang bertajuk Law” dari buku Natural Law and Pure Right karya John Finnis.
Bagaimanapun, di samping mengalami pencangkokan hukum yang radikal dan suntikan yang besar-besaran dari kultur barat, inti dari pemikiran hukum Jepang bagian sisa dari timur, beroperasi pada suatu wahana berbeda, selaras dengan aturan berbeda dan masih sangat tinggi di dalam tradisi dan dengan sifat disiplin keras yang khas.
Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara common sebagai ethical, political, authorized framework and as a tenet ‘ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan senta perlakukan yang tidak adil.
With a hodge-podge of kingdoms, metropolis-states, empires, and principalities loosely affiliated to the Vatican or to massive Christian or Islamic empires, law enforcement differed drastically as did the emperors, kings, Caliphs or popes who ruled all through these bleak years.